Minggu, 23 September 2012

TOLERANSI DIMENSI BERPIKIR


Dikatakan bahwa pembelajaran matematika sudah diajarkan kepada anak sejak mereka masih balita. Karena pada hakekatnya matematika itu adalah
1.      Kegiatan mencari pola
Ketika seorang balita menangis maka sang ibu akan datang untuk menggendongnya. Dalam kondisi ini, balita memperoleh pola bahwa balita menangis = ibu datang untuk menggendong, sehingga ketika dia ingin sang ibu datang maka dia akan menangis.
2.      Memecahkan masalah
Seorang balita yang ingin mengeluarkan kelereng dari sebuah mainan berbentuk balok maka dia akan melakukan berbagai macam cara agar kelereng bisa keluar, dengan memukul-mukulkan mainan itu sehingga kelereng dapat keluar.
3.      Kegaiatan meneliti/menyelidiki
Seorang balita akan mengenali dunia sekelilingnya dengan berbagai cara seperti memegang atau mengulum.
4.      Kegiatan berkomunikasi
Aksi seorang balita untuk menunjukkan apa yang dirasakan dengan loncat-loncat, tertawa untuk mengungkapkan rasa hatinya.
Dimensi berpikir seorang balita (yang menekankan berpikir kongkrit) berbeda dengan dimensi berpikir siswa sekolah menengah atas (yang bisa berpikir abstrak), hal inilah yang menyebabkan kenapa tidak ada kalkukus bayi.
Dikatakan bahwa pikiran manusia berdimensi-dimensi. Disini saya memahami bahwa dimensi adalah tingkat pemikiran manusia dalam memandang sesuatu yang berbeda-beda. Hal ini bisa dikarenakan perbedaan tingkat ilmu yang dimiliki ataupun tingkat kemampuan pemahaman dalam memandang sesuatu. Karena perbedaan pemikiran ini, terkadang membuat kita sulit untuk memahami pikiran orang lain yang mempunyai dimensi berpikir yang berbeda dengan kita.

                                                
PERTANYAAN:
Dikatakan bahwa ketika kita belum bisa memahami filsafat maka kita harus baca berkali-kali, padahal ada kemungkinan bahwa dimensi berpikir kita yang berbeda dengan dimensi orang yang menulis filasafat tersebut.
1.      Apakah yang harus kita lakukan? Apakah kita harus mengosongkan pikiran kita untuk mau menerima pemikiran orang lain padahal tidak sesuai dengan keyakinan kita?
2.      Apakah memaksakan diri kita untuk terus memahami dimensi berpikir orang lain? Dan memberikan toleransi kepada diri untuk memaklumi bahwa dimensi berpikir kita berbeda-beda?

Jumat, 14 September 2012

HERMENEUTIKA DALAM AGAMA


Filsafat adalah suatu hasil olah pikir manusia dengan menggunkan suatu metode. Metode dalam berfilsafat ini adalah hermeneutika yaitu menterjemahkan dan diterjemahkan. Tanpa kita sadari proses “menterjemahkan dan diterjemahkan” sudah kita lakukan semenjak kita berada dalam kandungan ibunda sampai selesai batas kontrak hidup kita di dunia. Proses hermeneutika itu juga selalu kita asah dari waktu ke waktu. Apalagi kita bertemu dengan sesuatu yang baru bagi kita maka kita akan mengaktifkan pembelajaran “menterjemahkan dan diterjemahkan”.
Orang yang sudah mengenal filsafat maka dia akan mengetahui memang proses hidup ini tidak terlepas dari proses “menterjemahkan dan diterjemahkan”, sehingga mereka selalu memberikan ruang dan waktu untuk memproses maksud dari peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Tapi tidak semua orang faham bahwa perlu proses “menterjemahkan dan diterjemahkan”, sehingga yang sering terjadi langsung penilaian negatif terhadap sesuatu tersebut.
Pemberian ruang dan waktu dalam proses “menterjemahkan dan diterjemahkan” ini bertujuan agar rangkaian penterjemahan kita tidak membuat kita semakin “tidak bisa” memposisikan sebagai seorang hamba Allah, namun sebaliknya harapannya adalah untuk semakin mengokohkan iman dan taqwa kita kepada Allah dan semakin bisa memaknai hidup lebih baik dan bijaksana lagi. Oleh karena itu diperlukan adanya iman dan taqwa yang kuat agar tidak semakin menjauhkan kita sebagai seorang hamba Allah beriman, dan agar tidak salah dalam pentejemahan setiap olah pikir seseorang.

Hermeneutika adalah proses yang tidak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. 
1.    Bagaimana sikap kita ketika ada seseorang melakukan hermeneutika terhadap kitab suci (Al Quran) yang hanya berdasar pada pemikiran pribadinya? padahal jika terjadi salah penafsiran akan berakibat fatal?
2.     Bagimana cara mengasah kemampuan hermeneutika agar semakin bijak dalam melakukan penterjemahan setiap peristiwa di sekitar kita?   

Minggu, 09 September 2012

FILSAFAT, BIJAKKAH


Filsafat, istilah yang tidak asing didengar bagi yang baru mempelajarinya, tapi asing ketika kita mempelajari ilmunya. Karena filsafat adalah sesuatu yang abstrak, hasil olah pikir seseorang atau cara pandang seseorang dalam memandang sesuatu. Ketika kita memperbanyak membaca tulisan-tulisan filsafat maka keasingan itu akan perlahan menjadi sesuatu yang tak asing bagi kita.
Dalam filsafat, kita bisa membicarakan tentang berbagai bidang termasuk spiritual. Namun ketika kita berfilsafat dalam bidang spiritual, kita harus menetapkan hati kita untuk tetap menjaga ketaqwaan dan keimanan sesuai keyakinan kita masing-masing. Karena dalam filsafat spiritual, ketika berpikir tentang sesuatu atau mengungkapkan tentang apa yang ada dalam pikiran kita maka akan banyak untaian kata-kata untuk menggambarkannya. Bahkan sekeranjang kata-kata tak mampu untuk mengungkapkan suatu perasaan yang sedang kita rasakan. Karena itu tidak menutup kemungkinan dari keseluruhan serangkaian maksud dalam pengungkapan pikiran kita ada yang melampaui batas sehingga menggoyahkan keimanan kita.
Dalam filsafat, penuangan hasil pemikiran ke dalam suatu tulisan tidak semuanya bisa diterima oleh pemikiran orang yang yang membacanya. Suatu contoh bagi seseorang yang baru mengenal filsafat kemudian memulai belajar membaca tulisan filsafat orang lain tidak jarang akan terjadi pertentangan dengan pemahaman orang yang membacanya (saya misalnya). Pertentangan itu terjadi apakah karena pertanda adanya proses belajar? Ataukah tanda tidak adanya penerimaan hasil tulisan dengan pemahaman atau keyakinan pembaca?
Nah ketika kita mengambil kemungkinan yang kedua bahwa terjadinya pertentangan yaitu tanda tidak adanya penerimaan hasil tulisan dengan pemahaman atau keyakinan pembaca. Bisa dibenarkan tidak jika tulisan hasil pemikiran itu kita nilai kurang bijak? Dan kita mengatakan tulisan filsafat itu bijak ketika kita dapat menerima hasil pemikiran yang tetuang di dalamnya?
Seorang filsafat mengatakan ketika berfilsafat maka tetapkan hati untuk menjaga ketaqwaan dan keimanan kita, jangan sampai filsafat yang merupakan hasil pemikiran dapat mempengaruhi hati. Dan jangan lupa selalu memohon ampun kepada Tuhan karena adanya kemungkinan pemikiran yang melampaui batas status kita sebagai seorang hambaNya.
Jika ada tulisan filsafat yang bisa dinilai dengan kategori “bijak” atau “kurang bijak” atau bahkan “tidak bijak”, sudahkah kita mengungkapkan filsafat dengan bijak?  

Kamis, 06 September 2012

Langkah Sederhana

Suatu langkah sederhana untuk membiasakan anak melakukan hal-hal kecil sangat berpengaruh besar pada perbaikan akhlak dan jiwa mereka. Suatu misal, yaitu membiasakan seorang anak untuk selalu menyapa ketika bertemu dengan orang lain. Sapaan yang diberikan bukan sekedar dengan kata "hai......." atau hanya sekedar senyuman saja. Tapi lebih dari itu, kita biasakan anak untuk selalu mengucap salam "assalamualaikum......." + "senyuman". Memang pada awalnya, mereka sulit untuk melakukannya. Apalagi, pembiasaan itu hanya kita lakukan dengan memberikan perintah saja. Pembiasaan itu akan cepat diikuti oleh anak jika kita sering memberikan contoh berupa tindakan, misal kita selalu mengucapkan salam disertai senyuman ketika bertemu dengan mereka. Lambat laun, mereka akan mengikuti apa yang kita lakukan. Dan secara mental pun, mereka akan merasa dapat diterima dengan baik di lingkungan itu, merasa dihargai dengan salam dan senyuman itu.